Foto KH Siraj MursyidResiko
saya sebagai anak ragil (terakhir-bungsu) adalah tidak dikenal oleh orang-orang
tua di keluarga besar saya. Umumnya kakak saya sebagai anak pertamalah yang
biasanya lebih diingat dan banyak berinteraksi dengan mereka. Umumnya juga,
jika dalam obrolan, anak terakhir ini hanya ngikut obrolan yang tua-tua,
menyimak dan mendengarkan. Kadang ada perasaan sungkan jika mau menyanggah atau
ikut asik dalam obrolan, walau jika dipancing juga banyak sekali pendapat yang
bisa diutarakan. Anak muda disini masih hati-hati, takut salah, dan biar ndak
dikira sok keminter. Semacam itu. Baru, jika si anak terakhir ini sudah mulai
matang dan dewasa, obrolan lebih nyambung dan kelihatan lebih berani dalam
menyampaikan pendapat. Itu juga kalau dari pihak tetua belum terlalu tua untuk
mendengarkan dan mengingat. Karena jarang berinteraksi itu juga, anak terakhir
biasanya agak kesulitan jika diminta menceritakan silsilah keluarga besar.
Setiap tahun saat lebaran, saya dijelaskan silsilah keluarga besar, dan setiap
tahun itu juga saya bengong mendengar ceritanya. Lebaran ini, saya ingin
mencaritahu sendiri, dan menuliskannya untuk mencari nasab saya dari ibu,
secara spesifik lagi dari keluarga nenek dari ibu saya.
Kakek
saya dari ibu bernama KH Cholil Abdurrahman. Kakek saya ini punya istri bernama
nyai Nafisah, yang tercantum di silsilah foto diatas, paling bawah, anak
terakhir dari 9 bersaudara, dan tinggal beliau yang masih hidup dari delapan
saudaranya yang lain. Ayah nyai Nafisah bernama KH Siraj Mursyid (simbah buyut
saya). Melihat nama kakek dan mbah buyut saja sudah membuat saya merasa kagum
dengan beliau. Kakek saya masih merasakan haji dengan menggunakan kapal, persis
seperti dalam film Ahmad Dahlan ‘sang pencerah’ yang dibintangi Lukman Sardi,
perjalanan haji bisa sampai berbulan-bulan. Pamitannya saja bisa sangat
mengharukan, diantar seisi kampung, seperti melepas kepergiannya tanpa tahu
pasti kapan akan pulang. Sementara kyai sendiri lebih kepada penghormatan
masyarakat kepada beliau yang dianggap alim, hampi semua yang dipanggil kyai
sudah pernah merasakan haji yang berat itu. KH Siraj Mursyid ini anak keempat,
juga dari 9 bersaudara. Ayah KH Siraj Mursyid bernama Chasan Tafsir. Kemarin
saya sempat berziarah ke makam Chasan Tafsir di pekarangan Masjid Patok Negoro
‘Sulthoni” di Plosokuning. Tentu saya bertanya-tanya, kenapa makam Chasan
Tafsir bisa berada disana, dan dibuatkan bangunan juga di atas makamnya.
Ternyata ayah dari Chasan Tafsir, KH Ngabdurahman (Kyai Tanjung) adalah orang
yang dipasrahi salah satu Masjid Pathok Negoro oleh Sri Sultan Hamengkubuwono. Dan
Chasan Tafsir mengabdi untuk meneruskan amanah yang diberikan kepada ayahnya.
Letak Makam Chasan Tafsir sendiri berada berdekatan dengan makam Kyai Tanjung.
Masjid Pathok Negoro adalah masjid yang didirikan oleh kraton di keempat arah
mata angin untuk menandakan daerah kekuasaan kraton di jaman dulu. Masjid
Plosokuning ini berada di arah mata angin sebelah utara. Dari masjid-masjid
pathok negoro yang lain, kabarnya hanya tinggal masjid di plosokuning ini yang
menjaga keaslian arsitektur bangunannya. Masih terdapat pagar beteng yang
membatasi halaman luar masjid, kolam yang mengitari area masjid, makam dan
pohon sawo kecik di pekarangan masjid. Menurut cerita juga, filosofi kolam yang
mengitari masjid menegaskan bahwa masjid adalah tempat yang bersih dan suci,
sawo kecik mengajarkan untuk selalu tumindak becik (berlaku baik), dan makam di
sekitar masjid agar mengingatkan kita kepada dekatnya kematian. Berziarah kuburlah
supaya kamu ingat akan kematian. Itu kata hadits.
Dokumen Silsilah Keluarga KH Siraj Mursyid
Mendengar
cerita tentang Chasan Tafsir juga menarik buat saya. Chasan Tafsir semasa hidup
bermukim di Krapyak Wedomartani Sleman. Beliau menyebar anak-anaknya ke
berbagai daerah untuk tujuan dakwah. Dan hampir kesemuanya, pada zamannya,
menjadi tokoh agama di daerahnya masing-masing. Anak bungsunya, Kyai Hasyim,
ditempatkan di daerah macanan (arah timur condongcatur, jogja). Dari keturunan
Kyai Hasyim ini juga, lahir orang bernama Komarudin, yang mengingatkan saya
pada buku sejarah jaman SD. Dia adalah pejuang yang terkenal sangat gigih pada
serangan umum 1 maret. Yang saya sebut chuck noris Indonesia karena pada satu
scene di film sejarah ‘janur kuning’, dia digambarkan seperti ini; anak buahnya
menganggapnya gila karena saat penyerangan belanda, semua tentara Indonesia
tiarap, hanya si komarudin ini sendiri berdiri dan meneriakkan ‘a*uuu
ba****aaaan’ sambil memberondongkan peluru di senapannya ke arah belanda. Paman
gedhe (pakdhe) saya yang masih kerabat dekat komarudin juga bercerita kalo
komarudin ini dikasih karomah, kelebihan dari Alloh, tidak mempan ditembaki
Belanda. Tapi ketika ditanya ‘loh mar, kamu tadi kok ditembak gapapa?’, si
komarudin hanya menjawab sambil guyon, ‘lhaya gapapa tho lhawong gakena kok’. Sayang,
dalam perjalanannya si komarudin ini tertangkap ikut andil dalam pendirian
DI/TII.
Anak
ketiga dari Chasan Tafsir bernama Kyai Zainuddin bermukim di daerah Jumeneng
Sleman. Kyai Murtadho di daerah Muntilan Jawa Tengah. Kyai Muchtarom di Kauman,
Jogja. Kyai Makful di daerah Suranatan, Jogja. Peninggalan mereka terlihat juga
dari beberapa keturunannya yang masih menetap di daerah sana. Sejarah juga
mencatat seorang bernama Kyai Muhdi, anak ke tujuh dari Chasan Tafsir, yang
juga pejuang kemerdekaan seperti Komarudin. Menurut cerita, beliau juga diberi
karomah tidak mempan ditembaki Belanda. Namun beliau merelakan dirinya dibunuh
Belanda demi menyelamatkan umatnya, karena ancaman Belanda yang akan membakar
daerahnya jika beliau tidak menyerahkan diri. Wallahu’alam, tapi namanya
diabadikan sebagai nama jalan di daerah Condongcatur, Sleman. Dan makamnya
berada di tempat asli Chasan Tafsir di Krapyak, Wedomartani Sleman. Keturunan
kyai Muhdi yang bernama Munajah (mbah Najah) juga merupakan pemuka agama yang
cukup disegani saat itu, sekaligus ahli spiritual yang sering disambangi
pejabat dan pembesar kraton.
Sementara
simbah buyut saya, anak keempat dari Chasan Tafsir, KH Siraj Mursyid mendapat
daerah di Godean, Sleman. Kesembilan keturunan KH Siraj Mursyid juga disebar
lagi ke beberapa daerah disana. Tidak mengherankan jika banyak sekali saudara
saya dari trah (trah adalah bahasa Jawa untuk semacam dinasti jika di China) KH
Siraj Mursyid ini. Trah KH Siraj Mursyid ini masih cukup kuat dalam
silaturahimnya, terwadahi dalam Ikatan Keluarga Siraj (IKS) yang rutin
mengadakan berbagai acara. Itu baru Trah KH Siraj Mursyid, bayangkan sebanyak
apa trah dari Bani Chasan Tafsir (ayah KH Siraj Mursyid).
Sebenarnya
ada nama-nama lain di silsilah keluarga yang ceritanya menarik untuk dikupas.
Misalnya Ki Juru Mertani yang terkadang muncul sebagai seorang yang cerdik
dalam pementasan ketoprak. Dan cerita di atas saja baru silsilah dari nenek.
Leluhur kakek saya dari ibu (KH Cholil Abdurrahman) juga tidak kalah panjang
untuk diceritakan. Saya masih ingat terdapat jahitan inisial nama orang yang
tidak asing di souvenir sajadah yang dibagikan pada trah Prawirosetiko (kakek
dari KH Cholil Abdurrahman). Inisial HMS yang kemudian diartikan sebagai Haji
Muhamad Soeharto, karena terdapat bintang lima diatas inisialnya.
Seperti itulah. Saya hanya berusaha mengamalkan akronim
tersohor dari bung karno "Jas Merah, Jangan sekali-sekali melupakan sejarah",
saya telusuri sejarah mulai dari sejarah leluhur saya, hingga saya ada sekarang
ini. Bagi saya, cerita-cerita leluhur tersebut berarti saya sudah memiliki
koleksi dongeng pengantar tidur bagi anak-anak saya kelak. Leluhur saya tidak
akan berpengaruh banyak terhadap hidup saya, karena hanya sayalah yang paling
tau bagaimana sebaiknya saya melakukan putaran hidup. Tentunya, mereka menurunkan keyakinan dan
teladan yang harus saya cari tau lebih
lanjut benar salah falsafahnya; bahwa saya seorang muslim, dan jawa.
Sumber:
http://suatuketika.blogspot.com/2012/08/bibit.html